Ahlus Sunnah Wal Jama'ah
Muhammad bin Abdullah Al-Wuhaibi
As-Sunnah dalam istilah mempunyai beberapa
makna (lihat : Mawaqif Ibnu Taimiyah Minal Asy'ariyah I : 3804 oleh Syaikh Abdur-Rahman Al-Mahmud dan Mafhum Ahlis Sunnah
Wal Jama'ah Inda Ahlis Sunnah Wal Jama'ah oleh Syaikh Nasyir Al-Aql). Dalam tulisan ringkas ini tidak hendak dibahas makna-makna
itu. Tetapi hendak menjelaskan istilah "As-Sunnah" atau "Ahlus Sunnah" menurut petunjuk yang sesuai dengan i'tiqad Al-Imam
Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan : "..... Dari Abu Sufyan Ats-Tsauri ia berkata :
"Berbuat baiklah terhadap ahlus-sunnah
karena mereka itu ghuraba"
(Diriwayatkan oleh Al-Lalika'i dalam "Syarhus-Sunnah"
No. 49)
Yang dimaksud "As-Sunnah" menurut para
Imam yaitu : "Thariqah (jalan hidup) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dimana beliau shallallahu 'alaihi wa sallam dan para
shahabat berada di atasnya. Yang selamat dari syubhat dan syahwat", oleh karena itu Al-Fudhail bin Iyadh mengatakan : "Ahlus
Sunnah itu orang yang mengetahui apa yang masuk ke dalam perutnya dari (makanan) yang halal".
( lihat : Al-Lalika'i Syarhus Sunnah No.
51 dan Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah 8:1034).
Karena tanpa memakan yang haram termasuk
salah satu perkara sunnah yang besar yang pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabat radhiyallahu
'anhum. Kemudian dalam pemahaman kebanyakan Ulama Muta'akhirin dari kalangan Ahli Hadits dan lainnya. As-Sunnah itu ungkapan
tentang apa yang selamat dari syubhat-syubhat dalam i'tiqad khususnya dalam masalah-masalah iman kepada Allah, para Malaikat-Nya,
Kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, Hari Akhir, begitu juga dalam masalah-masalah Qadar dan Fadhailush-Shahabah (keutamaan shahabat).
Para Ulama itu menyusun beberapa kitab
dalam masalah ini dan mereka menamakan karya-karya mereka itu sebagai "As-Sunnah". Menamakan masalah ini dengan "As-Sunnah"
karena pentingnya masalah ini dan orang yang menyalahi dalam hal ini berada di tepi kehancuran. Adapun Sunnah yang sempurna
adalah thariqah yang selamat dari syubhat dan syahwat.
(Kasyful Karriyyah 19-20).
Ahlus Sunnah adalah mereka yang mengikuti
sunnah Nabi shallallahu 'alahi wa sallam dan sunnah shahabatnya radhiyallahu 'anhum.
Al-Imam Ibnul Jauzi mengatakan : ".....
Tidak diragukan bahwa Ahli Naqli dan Atsar pengikut atsar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan atsar para shahabatnya,
mereka itu Ahlus Sunnah".
(Talbisul Iblis oleh Ibnul Jauzi hal.16
dan lihat Al-Fashlu oleh Ibnu Hazm 2:107).
Kata "Ahlus-Sunnah" mempunyai dua makna
:
Mengikuti sunnah-sunnah dan atsar-atsar
yang datangnya dari Rasulullah shallallu 'alaihi wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum, menekuninya, memisahkan
yang shahih dari yang cacat dan melaksanakan apa yang diwajibkan dari perkataan dan perbuatan dalam masalah aqidah dan ahkam.
Lebih khusus dari makna pertama, yaitu
yang dijelaskan oleh sebagian ulama dimana mereka menamakan kitab mereka dengan nama As-Sunnah, seperti Abu Ashim, Al-Imam
Ahmad bin Hanbal, Al-Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Al-Khalal dan lain-lain. Mereka maksudkan (As-Sunnah) itu i'tiqad
shahih yang ditetapkan dengan nash dan ijma'.
Kedua makna itu menjelaskan kepada kita
bahwa madzhab Ahlus Sunnah itu kelanjutan dari apa yang pernah dilakukan Rasulullah shallallahu 'alaih wa sallam dan para
shahabat radhiyallahu 'anhum. Adapun penamaan Ahlus Sunnah adalah sesudah terjadinya fitnah ketika awal munculnya firqah-firqah.
Ibnu Sirin rahimahullah mengatakan : "Mereka
(pada mulanya) tidak pernah menanyakan tentang sanad. Ketika terjadi fitnah (para ulama) mengatakan : Tunjukkan (nama-nama)
perawimu kepada kami. Kemudian ia melihat kepada Ahlus Sunnah sehingga hadits mereka diambil. Dan melihat kepada Ahlul Bi'dah
dan hadits mereka tidak diambil".
(Diriwayatkan oleh Muslim dalam Muqaddimah
kitab shahihnya hal.15).
Al-Imam Malik rahimahullah pernah ditanya
: "Siapakah Ahlus Sunnah itu ? Ia menjawab : Ahlus Sunnah itu mereka yang tidak mempunyai laqab (julukan) yang sudah terkenal
yakni bukan Jahmi, Qadari, dan bukan pula Rafidli".
(Al-Intiqa fi Fadlailits Tsalatsatil Aimmatil
Fuqaha. hal.35 oleh Ibnu Abdil Barr).
Kemudian ketika Jahmiyah mempunyai kekuasaan
dan negara, mereka menjadi sumber bencana bagi manusia, mereka mengajak untuk masuk ke aliran Jahmiyah dengan anjuran dan
paksaan. Mereka menggangu, menyiksa dan bahkan membunuh orang yang tidak sependapat dengan mereka. Kemudian Allah Subhanahu
wa Ta'ala menciptakan Al-Imam Ahmad bin Hanbal untuk membela Ahlus Sunnah. Dimana beliau bersabar atas ujian dan bencana yang
ditimpakan mereka.
Beliau membantah dan patahkan hujjah-hujjah
mereka, kemudian beliau umumkan serta munculkan As-Sunnah dan beliau menghadang di hadapan Ahlul Bid'ah dan Ahlul Kalam. Sehingga,
beliau diberi gelar Imam Ahlus Sunnah.
Dari keterangan di atas dapat kita simpulkan
bahwa istilah Ahlus Sunnah terkenal di kalangan Ulama Mutaqaddimin (terdahulu) dengan istilah yang berlawanan dengan istilah
Ahlul Ahwa' wal Bida' dari kelompok Rafidlah, Jahmiyah, Khawarij, Murji'ah dan lain-lain. Sedangkan Ahlus Sunnah tetap berpegang
pada ushul (pokok) yang pernah diajarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan shahabat radhiyallahu 'anhum.
AHLUS SUNNAH WAL-JAMA'AH
Istilah yang digunakan untuk menamakan
pengikut madzhab As-Salafus Shalih dalam i'tiqad ialah Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Banyak hadits yang memerintahkan untuk berjama'ah
dan melarang berfirqah-firqah dan keluar dari jama'ah.
(lihat : Wujubu Luzuumil Jama'ah wa Dzamit
Tafarruq. hal. 115-117 oleh Jamal bin Ahmad Badi).
Para ulama berselisih tentang perintah berjama'ah
ini dalam beberapa pendapat. (Al-I'tisham 2:260-265).
Jama'ah itu adalah As-Sawadul A'dzam (sekelompok
manusia atau kelompok terbesar-pen) dari pemeluk Islam.
Para
Imam Mujtahid
Para Shahabat Nabi radhiyallahu 'anhum.
Jama'ahnya kaum muslimin jika bersepakat
atas sesuatu perkara.
Jama'ah kaum muslimin jika mengangkat seorang
amir.
Pendapat-pendapat di atas kembali kepada
dua makna :
Bahwa jama'ah adalah mereka yang bersepakat
mengangkat seseorang amir (pemimpin) menurut tuntunan syara', maka wajib melazimi jama'ah ini dan haram menentang jama'ah
ini dan amirnya.
Bahwa jama'ah yang Ahlus Sunnah melakukan
i'tiba' dan meninggalkan ibtida' (bid'ah) adalah madzhab yang haq yang wajib diikuti dan dijalani menurut manhajnya. Ini adalah
makna penafsiran jama'ah dengan Shahabat Ahlul Ilmi wal Hadits, Ijma' atau As-Sawadul A'dzam.
(Mauqif Ibni Taimiyah Minal Asya'irah 1
: 17).
Syaikhul Islam mengatakan : "Mereka (para
ulama) menamakan Ahlul Jama'ah karena jama'ah itu adalah ijtima' (berkumpul) dan lawannya firqah. Meskipun lafadz jama'ah
telah menjadi satu nama untuk orang-orang yang berkelompok. Sedangkan ijma' merupakan pokok ketiga yang menjadi sandaran ilmu
dan dien. Dan mereka (para ulama) mengukur semua perkataan dan pebuatan manusia zhahir maupun bathin yang ada hubungannya
dengan dien dengan ketiga pokok ini (Al-Qur'an, Sunnah dan Ijma'). (Majmu al-Fatawa 3:175).
Istilah Ahlus Sunnah wal Jama'ah mempunyai
istilah yang sama dengan Ahlus Sunnah. Dan secara umum para ulama menggunakan istilah ini sebagai pembanding Ahlul Ahwa' wal
Bida'. Contohnya : Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhum mengatakan tentang tafsir firman Allah Ta'ala :
"Pada hari yang di waktu itu ada muka yang
putih berseri dan adapula muka yang muram".
(Ali-Imran : 105).
"Adapun orang-orang yang mukanya putih
berseri adalah Ahlus Sunnah wal Jama'ah sedangkan orang-orang yang mukanya hitam muram adalah Ahlul Ahwa' wa Dhalalah". (Diriwayatkan
oleh Al-Lalika'i 1:72 dan Ibnu Baththah dalam Asy-Syarah wal Ibanah 137. As-Suyuthi menisbahkan kepada Al-Khatib dalam tarikhnya
dan Ibni Abi Hatim dalam Ad-Durrul Mantsur 2:63).
Sufyan Ats-Tsauri mengatakan : "Jika sampai
(khabar) kepadamu tentang seseorang di arah timur ada pendukung sunnah dan yang lainnya di arah barat maka kirimkanlah salam
kepadanya dan do'akanlah mereka. Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jama'ah". (Diriwayatkan oleh Al-Lalika'i dalam Syarhus
Sunnah 1:64 dan Ibnul Jauzi dalam Talbisul Iblis hal.9).
Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa Ahlus
Sunnah wal Jama'ah adalah firqah yang berada diantara firqah-firqah yang ada, seperti juga kaum muslimin berada di tengah-tengah
milah-milah lain. Penisbatan kepadanya, penamaan dengannya dan penggunaan nama ini menunjukkan atas luasnya i'tiqad dan manhaj.
Nama Ahlus Sunnah merupakan perkara yang
baik dan boleh serta telah digunakan oleh para Ulama Salaf. Diantara yang paling banyak menggunakan istilah ini ialah Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
ASY'ARIYAH, MATURIDIYAH DAN ISTILAH AHLUS
SUNNAH
Asy'ariyah dan Maturidhiyah banyak menggunakan
istilah Ahlus Sunnah wal Jama'ah ini, dan di kalangan mereka kebanyakan mengatakan bahwa madzhab salaf "Ahlus Sunnah wa Jama'ah"
adalah apa yang dikatakan oleh Abul Hasan Al-Asy'ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Sebagian dari mereka mengatakan Ahlus Sunnah
wal Jama'ah itu As'ariyah, Maturidiyah dan Madzhab Salaf.
Az-Zubaidi mengatakan : "Jika dikatakan
Ahlus Sunnah, maka yang dimaksud dengan mereka itu adalah Asy'ariyah dan Maturidiyah". (Ittihafus Sadatil Muttaqin 2:6).
Penulis Ar-Raudhatul Bahiyyah mengatakan
: "Ketahuilah bahwa pokok semua aqaid Ahlus Sunnah wal Jama'ah atas dasar ucapan dua kutub, yakni Abul Hasan Al-Asy'ari dan
Imam Abu Manshur Al-Maturidi".
( Ar-Raudlatul Bahiyyah oleh Abi Udibah
hal.3).
Al-Ayji mengatakan : "Adapun Al-Firqotun
Najiyah yang terpilih adalah orang-orang yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata tentang mereka : "Mereka itu
adalah orang-orang yang berada di atas apa yang Aku dan para shahabatku berada diatasnya". Mereka itu adalah Asy'ariyah dan
Salaf dari kalangan Ahli Hadits dan Ahlus Sunnah wal Jama'ah". (Al-Mawaqif hal. 429).
Hasan Ayyub mengatakan : "Ahlus Sunnah
adalah Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansyur Al-Maturidi dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka berdua. Mereka berjalan
di atas petunjuk Salafus Shalih dalam memahami aqaid".
(lihat : Tabsithul Aqaidil Islamiyah, hal.
299 At-Tabshut fi Ushulid Din, hal. 153, At-Tamhid oleh An-nasafi hal.2, Al-Farqu Bainal Firaq, hal. 323, I'tiqadat Firaqil
Muslimin idal Musyrikin, hal. 150).
Pada umumnya mereka mengatakan aqidah Asy'ariyah
dan Maturidiyah berdasarkan madzhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Disini tidak bermaksud mempermasalahkan pengakuan bathil ini.
Tetapi hendak menyebutkan dua kesimpulan dalam masalah ini.
Bahwa pemakaian istilah ini oleh pengikut
Asy'ariyah dan Maturidiyah dan orang-orang yang terpengaruh oleh mereka sedikitpun tidak dapat merubah hakikat kebid'ahan
dan kesesatan mereka dari Manhaj Salafus Shalih dalam banyak sebab.
Bahwa penggunaan mereka terhadap istilah
ini tidak menghalangi kita untuk menggunakan dan menamakan diri dengan istilah ini menurut syar'i dan yang digunakan oleh
para Ulama Salaf. Tidak ada aib dan cercaan bagi yang menggunakan istilah ini. Sedangkan yang diaibkan adalah jika bertentangan
dengan i'tiqad dan madzhab Salafus Shalih dalam pokok (ushul) apapun.
Diterjemahkan dari majalah
Al-Bayan, no. 78 Shafar 1415H
oleh Ibrahim Sa'id
[Majalah As-sunnah edisi 10/Th.1]
PRINSIP-PRINSIP AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL-JAMA’AH
PRINSIP-PRINSIP AQIDAH
AHLUS SUNNAH WAL-JAMA’AH
Oleh
Syaikh Dr Sholeh bin Fauzan bin Abdullah
Al-Fauzan
PENDAHULUAN
Segala puji bagi Allah Rab semesta alam
yang telah menunjuki kita sekalian kepada cahaya Islam dan sekali-kali kita tidak akan mendapat petunjuk jika Allah tidak
memberi kita petunjuk. Kita memohon kepada-Nya agar kita senantiasa ditetapkan di atas hidayah-Nya sampai akhir hayat, sebagaimana
difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Hai orang-orang yang beriman,
bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati kecuali dalam keadaan
Islam”. (Ali-Imran : 102).
Begitu pula kita memohon agar hati kita
tidak dicondongkan kepada kesesatan setelah kita mendapat petunjuk.
“Artinya : Ya Allah, janganlah engkau
palingkan hati-hati kami setelah engkau memberi kami hidayah”. (Ali Imran : 8).
Dan semoga shalawat serta salam senantiasa
Allah limpahkan kepada Nabi kita, suri tauladan dan kekasih kita, Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
yang telah diutus-Nya sebagai rahmat bagi alam semesta. Dan semoga ridla-Nya selalu dilimpahkan kepada para sahabatnya yang
shalih dan suci, baik dari kalangan Muhajirin mupun Anshar, serta kepada para pengikutnya yang setia selama ada waktu malam
dan siang.
Wa ba’du : Inilah beberapa kalimat
ringkas tentang penjelasan ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah yang pada kenyataan hidup masa kini diperselisihkan
oleh umat Islam sehingga mereka terpecah belah. Hal itu terbukti dengan tumbuhnya berbagai kelompok (da’wah) kontemporer
dan jama’ah-jama’ah yang berbeda-beda. Masing-masing menyeru manusia (umat Islam) kepada golongannya ; mengklaim
bahwa diri dan golongan merekalah yang paling baik dan benar, sampai-sampai seorang muslim yang masih awam menjadi bingung
kepada siapakah dia belajar Islam dan kepada jama’ah mana dia harus ikut bergabung. Bahkan seorang kafir yang ingin
masuk Islam-pun bingung. Islam apakah yang benar yang harus di dengar dan dibacanya ; yakni ajaran Islam yang bersumber kepada
Al-Qur’an dan As-Sunnah yang telah diterapkan dan tergambar dalam kehidupan para sahabat Rasulullah yang mulia dan telah
menjadi pedoman hidup sejak berabad-abad yang lalu ; namun justru dia hanya bisa melihat Islam sebagai sebuah nama besar tanpa
arti bagi dirinya.
Begitulah yang pernah dikatakan oleh seorang
orientalis tentang Islam : “Islam itu tertutup oleh kaumnya sendiri”, yakni orang-orang yang mengaku-ngaku muslim
tetapi tidak konsisten (menetapi) dengan ajaran Islam yang sebenarnya.
Kami tidak mengatakan bahwa Islam telah
hilang seluruhnya oleh karena Allah telah menjamin kelanggengan Islam ini dengan keabadian Kitab-Nya sebagaimana Dia telah
berfirman.
“Artinya : Sesungguhnya Kamilah yang
telah menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. (Al-Hijr : 9).
Maka, Pastilah akan senantiasa ada segolongan
kaum muslimin yang tetap teguh (konsisten) memegang ajarannya dan memelihara serta membelanya sebagaimana di firmankan Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Hai orang-orang yang beriman,
barangsiapa diantara kamu yang murtad dari agamanya (dari Islam), maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah
mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lembut terhadap orang-orang mu’min, yang bersikap keras
terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang-orang yang suka mencela
…”. (Al-Maaidah : 54).
Dan firman Allah.
“Artinya : Ingatlah kamu ini. orang-orang
yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) di jalan Allah. Maka diantara kamu ada yang bakhil barang siapa bakhil berarti dia
bakhil pada dirinya sendiri, Allah Maha Kaya dan kamu orang-orang yang membutuhkan-Nya, dan jika kamu berpaling, niscaya Dia
akan mengganti ( kamu) dengan kaum selain kalian dan mereka tidak akan seperti kamu ini”. (Muhammad : 38).
Golongan atau jama’ah yang dimaksud
adalah seperti yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits :
“Artinya : Akan senantiasa ada segolongan
dari umatku yang tetap membela al-haq, mereka senantiasa unggul, yang menghina dan menentang mereka tidak akan mampu membahayakan
mereka hingga datang keputusan Allah (Tabaraka wa Ta’la), sedang mereka tetap dalam keadaan yang demikian”. (Dikeluarkan
oleh Imam Al-Bukhari 4/3641, 7460; dan Imam Muslim 5 juz 13, hal. 65-67 pada syarah Imam Nawawy).
Bertolak dari sinilah kita dan siapa saja
yang ingin mengenal Islam yang benar beserta pemeluknya yang setia harus mengenal golongan yang diberkahi ini dan yang mewakili
Islam yang benar, Semoga Allah menjadikan kita termasuk dalam golongan ini agar kita bisa mengambil contoh dari berjalan pada
jalan mereka dan agar supaya orang kafir yang ingin masuk Islam itupun dapat mengetahui untuk kemudian bisa bergabung.
AL-FIRQOTUN NAJIYAH ADALAH AHLUS SUNNAH
WAL-JAMA’AH
Pada masa kepemimpinan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam kaum muslimin itu adalah umat yang satu sebagaimana di firmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Sesungguhnya kalian adalah
umat yang satu dan Aku (Allah) adalah Rab kalian, maka beribadahlah kepada-Ku”. (Al-Anbiyaa : 92).
Maka kemudian sudah beberapa kali kaum
Yahudi dan munafiqun berusaha memecah belah kaum muslimin pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun
mereka belum pernah berhasil. Telah berkata kaum munafiq.
“Artinya : Janganlah kamu berinfaq
kepada orang-orang yang berada di sisi Rasulullah, supaya mereka bubar”.
Yang kemudian dibantah langsung oleh Allah
(pada lanjutan ayat yang sama) :
“Padahal milik Allah-lah perbandaharaan
langit dan bumi, akan tetapi orang-orang munafiq itu tidak memahami”. (Al-Munafiqun : 7).
Demikian pula, kaum Yahudi-pun berusaha
memecah belah dan memurtadkan mereka dari Ad-Din mereka.
“Artinya : Segolongan (lain) dari
Ahli Kitab telah berkata (kepada sesamanya) : (pura-pura) berimanlah kamu kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang beriman
(para sahabat Rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah pada akhirnya, mudah-mudahan (dengan cara demikian) mereka (kaum
muslimin) kembali kepada kekafiran”. (Ali Imran : 72).
Walaupun demikian, makar yang seperti itu
tidak pernah berhasil karena Allah menelanjangi dan menghinakan (usaha) mereka.
Kemudian mereka berusaha untuk kedua kalinya
mereka berusaha kembali memecah belah kesatuan kaum muslimin (Muhajirin dan Anshar) dengan mengibas-ngibas kaum Anshar tentang
permusuhan diantara mereka sebelum datangnya Islam dan perang sya’ir diantara mereka. Allah membongkar makar tersebut
dalam firman-Nya.
“Artinya : Hai orang-orang yang beriman,
jika kalian mengikuti segolongan orang-orang yang diberi Al-Kitab niscaya mereka akan mengembalikan kalian menjadi orang kafir
sesudah kalian beriman”.(Ali Imran : 100).
Sampai pada firman Allah.
“Artinya : Pada hari yang diwaktu
itu ada wajah-wajah berseri-seri dan muram ….” (Ali-Imran : 106).
Maka kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam mendatangi kaum Anshar : menasehati dan mengingatkan mereka ni’mat Islam dan bersatunya merekapun melalui
Islam, sehingga pada akhirnya mereka saling bersalaman dan berpelukan kembali setelah hampir terjadi perpecahan. (Lihat Tafsir
Ibnu Katsir I/397 dan Asbabun Nuzul Al-Wahidy hal. 149-150) . Dengan demikian gagallah pula makar Yahudi dan tetaplah kaum
muslimin berada dalam persatuan. Allah memang memerintahkan mereka untuk bersatu di atas Al-Haq dan melarang perselisihan
dan perpecahan sebagaimana firman-Nya.
“Artinya : Dan janganlah kamu menyerupai
orang-orang yang berpecah belah dan beselisih sesudah datangnya keterangan yang jelas ……”.(Ali-Imran : 105).
Dan firman-Nya pula.
“Artinya : Dan berpeganglah kamu
semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu berpecah-belah ….”.(Ali-Imran : 103).
Dan sesungguhnya Allah telah mensyariatkan
persatuan kepada mereka dalam melaksanakan berbagai macam ibadah : seperti shalat, dalam shiyam, dalam menunaikan haji dan
dalam mencari ilmu. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam-pun telah memerintahkan kaum muslimin ini agar bersatu
dan melarang mereka dari perpecahan dan perselisihan. Bahkan beliau telah memberitahukan suatu berita yang berisi anjuran
untuk bersatu dan larangan untuk berselisih, yakni berita tentang akan terjadinya perpecahan pada umat ini sebagaimana hal
tersebut telah terjadi pada umat-umat sebelumnya ; sabdanya.
“Artinya : Sesunguhnya barangsiapa
yang masih hidup diantara kalian dia akan melihat perselisihan yang banyak, maka berpegang teguhlah kalian dengan sunnah-Ku
dan sunnah Khulafaa’rasiddin yang mendapat petunjuk setelah Aku”. (Dikeluarkan oleh Abu Dawud 5/4607 dan Tirmidzi
5/2676 dan Dia berkata hadits ini hasan shahih ; juga oleh Imam Ahmad 4/126-127 dan Ibnu Majah 1/43).
Dan sabdanya pula.
“Artinya : Telah berpecah kaum Yahudi
menjadi tujuh puluh satu golongan ; dan telah berpecah kaum Nashara menjadi tujuh puluh dua golongan ; sedang umatku akan
berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu. Maka kami-pun bertanya, siapakah yang
satu itu ya Rasulullah ..? ; beliau menjawab : yaitu barang-siapa yang berada pada apa-apa yang aku dan para sahabatku jalani
hari ini”. (Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi 5/2641 dan Al-Hakim di dalam Mustadraknya I/128-129, dan Imam Al-Ajury di
dalam Asy-Syari’ah hal.16 dan Imam Ibnu Nashr Al-Mawarzy di dalam As-Sunnah hal 22-23 cetakan Yayasan Kutubus Tsaqofiyyah
1408, dan Imam Al-Lalikaai dalam Syar Ushul I’tiqaad Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah I nomor 145-147).
Sesungguhnya telah nyata apa-apa yang telah
diberitakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berpecahlah umat ini pada akhir generasi sahabat walaupun
perpecahan tersebut tidak berdampak besar pada kondisi umat semasa generasi yang dipuji oleh Rasulullah dalam sabdanya.
“Artinya : Sebaik-baik kalian adalah
generasiku, kemudian generasi yang datang sesudahnya, kemudian yang datang sesudahnya”. (Dikeluarkan oleh Bukhari 3/3650,
3651 dan Muslim 6/juz 16 hal 86-87 Syarah An-Nawawy).
Perawi hadits ini berkata : “saya
tidak tahu apakah Rasulullah menyebut setelah generasinya dua atau tiga kali”.
Yang demikian tersebut bisa terjadi karena
masih banyaknya ulama dari kalangan muhadditsin, mufassirin dan fuqaha. Mereka termasuk sebagai ulama tabi’in dan pengikut
para tabi’in serta para imam yang empat dan murid-murid mereka. Juga disebabkan masih kuatnya daulah-dualah Islamiyah
pada abad-abad tersebut, sehingga firqah-firqah menyimpang yang mulai ada pada waktu itu mengalami pukulan yang melumpuhkan
baik dari segi hujjah maupun kekuatannya.
Setelah berlalunya abad-abad yang dipuji
ini bercampurlah kaum muslimin dengan pemeluk beberapa agama-agama yang bertentangan. Diterjemahkannya kitab ilmu ajaran-ajaran
kuffar dan para raja Islam-pun mengambil beberapa kaki tangan pemeluk ajaran kafir untuk dijadikan menteri dan penasihat kerajaan,
maka semakin dahsyatlah perselisihan di kalangan umat dan bercampurlah berbagai ragam golongan dan ajaran. Begitupun madzhab-madzhab
yang batilpun ikut bergabung dalam rangka merusak persatuan umat. Hal itu terus berlangsung hingga zaman kita sekarang dan
sampai masa yang dikehendaki Allah. Walaupun demikian kita tetap bersyukur kepada Allah karena Al-Firqatun Najiyah Ahlus Sunnah
Wal Jama’ah masih tetap berada dalam keadaan berpegang teguh dengan ajaran Islam yang benar berjalan diatasnya, dan
menyeru kepadanya ; bahkan akan tetap berada dalam keadaan demikian sebagaimana diberitakan dalam hadits Rasulullah tentang
keabadiannya, keberlangsungannya dan ketegarannya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah demi langgenggnya Din ini dan
tegaknya hujjah atas para penentangnya.
Sesungguhnya kelompok kecil yang diberkahi
ini berada di atas apa-apa yang pernah ada semasa sahabat Radhiyallahu ‘anhum bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam baik dalam perkataan perbuatan maupun keyakinannya seperti yang disabdakan oleh beliau.
“Artinya : Mereka yaitu barangsiapa
yang berada pada apa-apa yang aku dan para sahabatku jalani hari ini” (Telah berlalu penjelasannya di atas -peny).
Sesungguhnya mereka itu adalah sisa-sisa
yang baik dari orang-orang yang tentang mereka Allah telah berfirman.
“Artinya : Maka mengapakah tidak
ada dari umat-umat sebelum kamu orang-orang yang mempunyai keutamaan (shalih) yang melarang dari berbuat kerusakan di muka
bumi kecuali sebagian kecil diantara orang-orang yang telah kami selamatkan diantara mereka, dan orang-orang yang dzolim hanya
mementingkan kemewahan yang ada pada mereka ; dan mereka adalah orang-orang yang berdosa”. (Huud : 116).
NAMA-NAMA AL-FIQOTUN NAAJIYAH DAN ARTINYA
Setelah kita mengetahui bahwa kelompok
ini adalah golongan yang selamat dari kesesatan, maka tibalah giliran bagi kita untuk mengetahui pula nama-nama beserta ciri-cirinya
agar kita dapat mengikutinya. Sebenarnyalah kelompok ini memiliki nama-nama agung yang membedakannya dari kelompok-kelompok
lain. Dan diantara nama-namanya adalah : Al-Firqotun Najiyah (golongan yang selamat) ; Ath-Thooifatul Manshuroh (golongan
yang ditolong) ; dan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, yang artinya adalah sebagai berikut.
Bahwasanya kelompok ini adalah kelompok
yang selamat dari api neraka sebagaimana telah dikecualikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyebutkan
kelompok-kelompok yang ada pada umatnya dengan sabdanya : “Seluruhnya di atas neraka kecuali satu ; yakni yang tidak
masuk kedalam neraka”.(Telah terdahulu keterangannya)
Bahwasanya kelompok ini adalah kelompok
yang tetap berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah dan apa-apa yang dipegang oleh As-Saabiqunal Awwalun (para pendahulu
yang pertama) baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar, sebagaimana di sabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam : “Mereka itu adalah siapa-siapa yang berjalan diatas apa-apa yang aku dan sahabatku lakukan hari ini”.(Telah
terdahulu keterangannya)
Bahwasanya pemeluk kelompok ini adalah
mereka yang menganut paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Mereka itu bisa dibedakan dari kelompok lainnya pada dua hal penting
; pertama. berpegang teguhnya mereka terhadap As-Sunnah sehingga mereka di sebut sebagai pemeluk sunnah (Ahlus Sunnah). Berbeda
dengan kelompok-kelompok lain karena mereka berpegang teguh dengan pendapat-pendapatnya, hawa nafsunya dan perkataan para
pemimpinnya. Oleh karena itu, kelompok-kelompok tersebut tidak dinisbatkan kepada Sunnah, akan tetapi dinisbatkan kepada bid’ah-bid’ah
dan kesesatan-kesesatan yang ada pada kelompok itu sendiri, seperti Al-Qadariyah dan Al-Murji’ah ; atau dinisbatkan
kepada para imam-nya seperti Al-Jahmiyah ; atau dinisbatkan pada pekerjaan-pekerjaannya yang kotor seperti Ar-Rafidhah dan
Al-Khawarij. Adapun perbedaan yang kedua adalah bahwasanya mereka itu Ahlul Jama’ah karena kesepakatan mereka untuk
berpegang teguh dengan Al-Haq dan jauhnya mereka dari perpecahan. Berbeda dengan kelompok-kelompok lain, mereka tidak bersepakat
untuk berpegang teguh dengan Al-Haq akan tetapi mereka itu hanya mengikuti hawa nafsu mereka, maka tidak ada kebenaran pada
mereka yang mampu menyatukan mereka.
Bahwasanya kelompok ini adalah golongan
yang ditolong Allah sampai hari kiamat. Karena gigihnya mereka dalam menolong dinullah maka Allah menolong mereka, seperti
difirmankan Allah : “Jika kamu menolong Allah niscaya Allah akan menolong mereka”. (Muhammad : 7) . Oleh karena
itu pula Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda : “Tidaklah yang menghina dan menentang mereka itu
akan mampu memadlorotkan (membahayakan) mereka sampai datang keputusan Allah Tabaraka wa Ta’ala sedang mereka itu tetap
dalam keadaan demikian”. (Telah terdahulu keterangannya).
Sesungguhnynya Ahlus Sunnah wal Jama’ah
berjalan di atas prinsip-prinsip yang jelas dan kokoh baik dalam itiqad, amal maupun perilakunya. Seluruh prinsip-prinsip
yang agung ini bersumber pada kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya dan apa-apa yang dipegang oleh para pendahulu umat dari kalangan
sahabat, tabi’in dan para pengikut mereka yang setia.
Prinsip-prinsip tersebut teringkas dalam
butir-butir berikut :
Prinsip Pertama
Beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya,
Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, Hari Akhir dan Taqdir baik dan buruk.
1. Iman kepada Allah
Beriman kepada Allah artinya berikrar dengan
macam-macam tauhid yang tiga serta beriti’qad dan beramal dengannya yaitu tauhid rububiyyah, tauhid uluuhiyyah dan tauhid
al-asmaa wa -ash-shifaat. Adapun tauhid rububiyyah adalah menatauhidkan segala apa yang dikerjakan Allah baik mencipta, memberi
rizki, menghidupkan dan mematikan ; dan bahwasanya Dia itu adalah Raja dan Penguasa segala sesuatu.
Tauhid uluuhiyyah artinya mengesakan Allah
melalui segala pekerjaan hamba yang dengan cara itu mereka bisa mendekatkan diri kepada Allah apabila memang hal itu disyari’atkan
oleh-Nya seperti berdo’a, takut, rojaa’ (harap), cinta, dzabh (penyembelihan), nadzr (janji), isti’aanah
(minta pertolongan), al-istighotsah (minta bantuan), al-isti’adzah (meminta perlindungan), shalat, shaum, haji, berinfaq
di jalan Allah dan segala apa saja yang disyari’atkan dan diperintahkan Allah dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu
apapun baik seorang malaikat, nabi, wali maupun yang lainnya.
Sedangkan makna tauhid al-asma wash-shifaat
adalah menetapkan apa-apa yang Allah dan Rasuln-Nya telah tetapkan atas diri-Nya baik itu berkenaan dengan nama-nama maupun
sifat-sifat Allah dan mensucikan-Nya dari segala ‘aib dan kekurangan sebagaimana hal tersebut telah disucikan oleh Allah
dan Rasul-Nya. Semua ini kita yakini tanpa melakukan tamtstil (perumpamaan), tanpa tasybiih (penyerupaan), tahrif (penyelewengan),
ta’thil (penafian), dan tanpa takwil ; seperti difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Tak ada sesuatupun yang
menyerupai-Nya dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (Asy-Syuro : 11)
Dan firman Allah pula.
“Artinya : Dan Allah mempunyai nama-nama
yang baik, maka berdo’alah kamu dengannya”. (Al-A’raf : 180).
2. Beriman kepada Para Malaikat-Nya
Yakni membenarkan adanya para malaikat
dan bahwasanya mereka itu adalah mahluk dari sekian banyak mahluk Allah, diciptakan dari cahaya. Allah mencitakan malaikat
dalam rangka untuk beribadah kepada-Nya dan menjalankan perintah-perintah-Nya di dunia ini, sebagaimana difirmankan Allah.
“Artinya : ….Bahkan malaikat-malaikat
itu adalah mahluk yang dumuliakan, mereka tidak mendahulu-Nya dalam perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya”.
(Al-Anbiyaa : 26-27).
“Artinya : Allahlah yang menjadikan
para malaikat sebagai utusan yang memiliki sayap dua, tiga dan empat ; Allah menambah para mahluk-Nya apa-apa yang Dia kehendaki”.
(Faathir : 1)
3. Iman kepada Kitab-kitab-Nya
Yakni membenarkan adanya Kitab-kitab Allah
beserta segala kandungannya baik yang berupa hidayah (petunjuk) dan cahaya serta mengimani bahwasanya yang menurunkan kitab-kitab
itu adalah Allah sebagai petunjuk bagi seluruh manusia. Dan bahwasanya yang paling agung diantara sekian banyak kitab-kitab
itu adalah tiga kitab yaitu Taurat, Injil dan Al-Qur’an dan di antara ketiga kitab agung tersebut ada yang teragung
yakni Al-Qur’an yang merupakan mu’jizat yang agung. Allah berfirman.
“Artinya : Katakanlah (Hai Muhammad)
: ’sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur’an niscaya mereka tidak akan mampu
melakukannya walaupun sesama mereka saling bahu membahu”. (Al-isra : 88)
Dan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah mengimani
bahwa Al-Qur’an itu adalah kalam (firman) Allah ; dan dia bukanlah mahluq baik huruf maupun artinya. Berebda dengan
pendapat golongan Jahmiyah dan Mu’tazilah, mereka mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah mahluk baik huruf maupun maknanya.
Berbeda pula dengan pendapat Asyaa’irah dan yang menyerupai mereka, yang mengatakan bahwa kalam (firman) Allah hanyalah
artinya saja, sedangkan huruf-hurufnya adalah mahluk. Menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, kedua pendapat tersebut adalah
bathil berdasarkan firman Allah.
“Artinya : Dan jika ada seorang dari
kaum musyrikin meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar KALAM ALLAH (Al-Qur’an)”.
(At-Taubah : 6)
“Artinya : Mereka itu ingin merubah
KALAM Allah”. (Al-Fath : 15)
4. Iman Kepada Para
Rasul
Yakni membenarkan semua rasul-rasul baik
yang Allah sebutkan nama mereka maupun yang tidak ; dari yang pertama sampai yang terkahir, dan penutup para nabi tersebut
adalah nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Artinya pula, beriman kepada para rasul seluruhnya dan beriman
kepada Nabi kita secara terperinci serta mengimani bahwasanya beliau adalah penutup para nabi dan rasul dan tidak ada nabi
sesudahnya ; maka barangsiapa yang keimanannya kepada para rasul tidak demikian berarti dia telah kafir. Termasuk pula beriman
kepada para rasul adalah tidak melalaikan dan tidak berlebih-lebihan terhadap hak mereka dan harus berbeda dengan kaum Yahudi
dan Nashara yang berlebih-lebihan terhadap para rasul mereka sehingga mereka menjadikan dan memperlakukan para rasul itu seperti
memperlakukan terhadap Tuhanya (Allah) sebagaimana yang difirmankan Allah.
“Artinya : Dan orang-orang Yahudi
berkata : ‘Uzair itu anak Allah ; dan orang-orang Nasharani berkata :’Isa Al-Masih itu anak Allah…”.(
At-Taubah : 30)
Sedang orang-orang sufi dan para ahli filsafat
telah bertindak sebaliknya. Mereka telah meerendahkan dan menghinakan hak para rasul dan lebih mengutamakan para pemimpin
mereka, sedang kaum penyembah berhala dan atheis telah kafir kepada seluruh rasul tersebut. Orang-orang Yahudi telah -kafir
terhadap Nabi Isa dan Muhammad ‘alaihima shalatu wa sallam ; sedangkan orang-orang Nashara telah kafir kepada Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan orang-orang yang mengimani sebagian- mengingkari sebagian (dari para rasul Allah),
maka dia telah mengingkari dengan seluruh rasul, Allah telah berfirman.
“Artinya : Sesungguhnya orang-orang
yang kafur kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya dan bermaksud memperbedakan antara (keimana kepada) Allah dan Rasul-Nya, dengan
mengatakan : Kami beriman kepada yang sebagian dan kami kafir kepada sebagian (yang lain), serta bermaksud (dengan perkataan
itu) mengambil jalan diantara yang demikian (iman dan kafir) merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya, kami telah
menyediakan untuk mereka siksa yang menghinakan”. (An-Nisaa : 150-151).
Dan Allah juga berfirman.
“Artinya : Kami tidak mebeda-bedakan
satu diantara Rasul-rasul-Nya ….”.(Al-Baqarah : 285)
5. Iman Kepada Hari Akhirat
Yakni membenarkan apa-apa yang akan terjadi
setelah kematian dari hal-hal yang telah diberitakan Allah dan Rasul-Nya baik tentang adzab dan ni’mat kubur, hari kebangkitan
dari kubur, hari berkumpulnya manusia di padang mahsyar, hari perhitungan dan ditimbangnya segala amal perbuatn dan pemberian
buku laporan amal dengan tangan kanan atau kiri, tentang jembatan (sirat), serta syurga dan neraka. Disamping itu keimanan
untuk bersiap sedia dengan amalan-amalan sholeh dan meninggalkan amalan sayyi-aat (jahat) serta bertaubat dari padanya.
Dan sungguh telah mengingkari adanya hari
akhir orang-orang musyrik dan kaum dahriyyun, sedang orang-orang Yahudi dan Nashara tidak mengimani hal ini dengan keimanan
yan benar sesuai dengan tuntutan, walau mereka beriman akan adanya hari akhir. Firman Allah.
“Artinya : Dan mereka (Yahudi dan
Nashara) berkata : ‘Sekali-kali tidaklah masuk syurga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi dan Nashara. Demikianlah
angan-angan mereka ……”.(Al-Baqarah : 111).
“Artinya : Dan mereka berkata : Kami
sekali-kali tidak akan disentuh api neraka kecuali hanya dalam beberapa hari saja”. (Al-Baqarah : 80).
6. Iman kepada taqdir.
Yakni beriman bahwasanya Allah itu mengetahui
apa-apa yang telah terjadi dan yang akan terjadi; menentukan dan menulisnya dalam lauhul mahfudz ; dan bahwasanya segala sesuatu
yang terjadi, baik maupun buruk, kafir, iman, ta’at, ma’shiyat, itu telah dikehendaki, ditentukan dan diciptakan-Nya
; dan bahwasanya Allah itu mencintai keta’atan dan membenci kemashiyatan.
Sedang hamba Allah itu mempunyai kekuasaan,
kehendak dan kemampuan memilih terhadap pekerjaan-pekerjaan yang mengantar mereka pada keta’atan atau ma’shiyat,
akan tetapi semua itu mengikuti kemauan dan kehendak Allah. Berbeda dengan pendapat golongan Jabariyah yang mengatakan bahwa
manusia terpaksa dengan pekerjaan-pekerjaannya tidak memiliki pilihan dan kemampuan sebaliknya golongan Qodariyah mengatakan
bahwasanya hamba itu memiliki kemauan yang berdiri sendiri dan bahwasanya dialah yang menciptkan pekerjaan dirinya, kemauan
dan kehendak hamba itu terlepas dari kemauan dan kehendak Allah.
Allah benar-benar telah membantah kedua
pendapat di atas dengan firman-Nya.
“Artinya : Dan kamu tidak bisa berkemauan
seperti itu kecuali apabila Allah menghendakinya”. (At-Takwir : 29)
Dengan ayat ini Allah menetapkan adanya
kehendak bagi setiap hamba sebagai banyahan terhadap Jabariyah yang ekstrim, bahkan menjadikannya sesuai dengan kehendak Allah,
hal ini merupakan bantahan atas golongan Qodariyah. Dan beriman kepada taqdir dapat menimbulkan sikap sabar sewaktu seorang
hamba menghadapi cobaan dan menjauhkannya dari segala perbuatan dosa dan hal-hal yang tidak terpuji. bahkan dapat mendorong
orang tersebut untuk giat bekerja dan menjauhkan dirinya dari sikap lemah, takut dan malas.
Prinsip Kedua
Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah
wal Jama’ah adalah : bahwasanya iman itu perkataan, perbuatan dan keyakinan yang bisa bertambah dengan keta’atan
dan berkurang dengan kema’shiyatan, maka iman itu bukan hanya perkataan dan perbuatan tanpa keyakinan sebab yang demikian
itu merupakan keimanan kaum munafiq, dan bukan pula iman itu hanya sekedar ma’rifah (mengetahui) dan meyakini tanpa
ikrar dan amal sebab yang demikian itu merupakan keimanan orang-orang kafir yang menolak kebenaran. Allah berfirman.
“Artinya : Dan mereka mengingkarinya
karena kedzoliman dan kesombongan (mereka), padahal hati-hati mereka meyakini kebenarannya, maka lihatlah kesudahan orang-orang
yang berbuat kerusakan itu”. (An-Naml : 14)
“Artinya : ……. karena
sebenarnya mereka bukan mendustakanmu, akan tetapi orang-orang yang dzolim itu menentang ayat-ayat Allah”. (Al-An’aam
: 33)
“Artinya : Dan kaum ‘Aad dan
Tsamud, dan sungguh telah nyata bagi kamu kehancuran tempat-tempat tinggal mereka. Dan syetan menjadikan mereka memandang
baik perbuatan mereka sehingga menghalangi mereka dari jalan Allah padahal mereka adalah orang-orang yang berpandangan tajam”
(Al-Ankabut : 38)
Bukan pula iman itu hanya suatu keyakinan
dalam hati atau perkataan dan keyakinan tanpa amal perbuatan karena yang demikian adalah keimanan golongan Murji’ah
; Allah seringkali menyebut amal perbuatan termasuk iman sebagaimana tersebut dalam firman-Nya.
“Artinya : Sesungguhnya orang-orang
yang beriman hanyalah mereka yang apabila ia disebut nama Allah tergetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat Allah bertambahlah
imannya dan kepada Allahlah mereka bertawakal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat, dan yang menafkahkan apa-apa yang
telah dikaruniakan kepada mereka. Merekalah orang-orang mu’min yang sebenarnya …” (Al-Anfaal : 2-4).
“Artinya : Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan
iman kalian” (Al-Baqarah : 143).
Prinsip Ketiga
Dan diantara prinsip-prinsip aqidah Ahlus
Sunnah wal Jama’ah adalah bahwasanya mereka tidak mengkafirkan seorangpun dari kaum muslimin kecuali apabila dia melakukan
perbuatan yang membatalkan keislamannya. Adapun perbuatan dosa besar selain syirik dan tidak ada dalil yang menghukumi pelakunya
sebagai kafir. Misalnya meninggalkan shalat karena malas, maka pelaku (dosa besar tersebut) tidak dihukumi kafir akan tetapi
dihukumi fasiq dan imannya tidak sempurna. Apabila dia mati sedang dia belum bertaubat maka dia berada dalam kehendak Allah.
Jika Dia berkehendak Dia akan mengampuninya, namun si pelaku tidak kekal di neraka, telah berfirman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Sesungguhnya Allah tidak
akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni dosa-dosa selainnya bagi siapa yang dikehendakinya …” (An-Nisaa
: 48).
Dan madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah
dalam masalah ini berada di tengah-tengah antara Khawarij yang mengkafirkan orang-orang yang melakukan dosa besar walau bukan
termasuk syirik dan Murji’ah yang mengatakan si pelaku dosa besar sebagai mu’min sempurna imannya, dan mereka
mengatakan pula tidak berarti suatu dosa/ma’shiyat dengan adanya iman sebagaimana tak berartinya suatu perbuatan ta’at
dengan adanya kekafiran.
Prinsip Keempat
Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah
wal Jama’ah adalah wajibnya ta’at kepada pemimpin kaum muslimin selama mereka tidak memerintahkan untuk berbuat
kema’skshiyatan, apabila mereka memerintahkan perbuatan ma’shiyat, dikala itulah kita dilarang untuk menta’atinya
namun tetap wajib ta’at dalam kebenaran lainnya, sebagaimana firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Hai orang-orang yang beriman,
ta’atlah kamu kepada Allah dan ta’atlah kepada Rasul serta para pemimpin diantara kalian …” (An-Nisaa
: 59)
Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam
“Artinya : Dan aku berwasiat kepada
kalian agar kalian bertaqwa kepada Allah dan mendengar dan ta’at walaupun yang memimpin kalian seorang hamba”.(Telah
terdahulu takhrijnya, merupakan potongan hadits ‘Irbadh bin Sariyah tentang nasihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam kepada para sahabatnya).
Dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah memandang
bahwa ma’shiyat kepada seorang amir yang muslim itu merupakan ma’shiyat kepada Rasul Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, sebagaimana sabdanya.
“Artinya : Barangsiapa yang ta’at
kepada amir (yang muslim) maka dia ta’at kepadaku dan barangsiapa yang ma’shiyat kepada amir maka dia ma’shiyat
kepadaku”. (Dikelaurkan oleh Bukhari 4/7137, Muslim 4 Juz 12 hal. 223 atas Syarah Nawawi).
Demikian pula, Ahlus Sunnah wal Jama’ah-pun
memandang bolehnya shalat dan berjihad di belakang para amir dan menasehati serta medo’akan mereka untuk kebaikan dan
keistiqomahan.
Prinsip Kelima
Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah
wal Jama’ah adalah haramnya keluar untuk memberontak terhadap pemimpin kaum muslimin apabila mereka melakukan hal-hal
yang menyimpang, selama hal tersebut tidak termasuk amalan kufur. Hal ini sesuai dengan perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam tentang wajibnya ta’at kepada mereka dalam hal-hal yang bukan ma’shiyat dan selama belum tampak pada
mereka kekafiran yang jelas. Berlainan dengan Mu’tazilah yang mewajibkan keluar dari kepemimpinan para imam/pemimpin
yang melakukan dosa besar walaupun belum termasuk amalan kufur dan mereka memandang hal tersebut sebagai amar ma’ruf
nahi munkar. Sedang pada kenyataannya, keyakinan Mu’tazilah seperti ini merupakan kemunkaran yang besar karena menuntut
adanya bahaya-bahaya yang besar baik berupa kericuhan, keributan, perpecahan dan kerawanan dari pihak musuh.
Prinsip Keenam
Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah
wal Jama’ah adalah bersihnya hati dan mulut mereka terhadap para sahabat Rasul Radhiyallahu ‘anhum sebagaimana
hal ini telah digambarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika mengkisahkan Muhajirin dan Anshar dan pujian-pujian
terhadap mereka.
“Artinya : Dan orang-orang yang datang
sesudah mereka mengatakan : Ya Allah, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dalam iman dan janganlah
Engkau jadikan dalam hati kami kebencian kepada orang-orang yang beriman : Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi
Maha Penyayang”. (Al-Hasyr : 10).
Dan sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Janganlah kamu sekali-kali
mencela sahabat-sahabatku, maka demi dzat yang jiwaku ditangan-Nya, kalau seandainya salah seorang diantara kalian menginfakkan
emas sebesar gunung uhud, niscaya tidak akan mencapai segenggam kebaikan salah seorang diantara mereka tidak juga setengahnya”.
(Dikeluarkan oleh Bukhary 3/3673, dan Muslim 6/ Juz 16 hal 92-93 atas Syarah Nawawy).
Berlainan dengan sikap orang-orang ahlul
bid’ah baik dari kalangan Rafidhoh maupun Khawarij yang mencela dan meremehkan keutamaan para sahabat.
Ahlus Sunnah memandang bahwa para khalifah
setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Abu Bakar, kemudian Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali
bin Abi Thalib Radhiyallahu anhumajma’in. Barangsiapa yang mencela salah satu khalifah diantara mereka, maka dia lebih
sesat daripada keledai karena bertentangan dengan nash dan ijma atas kekhalifahan mereka dalam silsilah seperti ini.
Prinsip Ketujuh
Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah
wal Jama’ah adalah mencintai ahlul bait sesuai dengan wasiat Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabdanya.
“Artinya : Sesunnguhnya aku mengingatkan
kalian dengan ahli baitku”. ( Dikeluarkan Muslim 5 Juz 15, hal 180 Nawawy, Ahmad 4/366-367 dan Ibnu Abi ‘Ashim
dalam kitab As-Sunnah No. 629).
Sedang yang termasuk keluarga beliau adalah
istri-istrinya sebagai ibu kaum mu’minin Radhiyallahu ‘anhunna wa ardhaahunna. Dan sungguh Allah telah berfirman
tentang mereka setelah menegur mereka.
“Artinya : Wahai wanita-wanita nabi
……..”.(Al-Ahzab : 32)
Kemudian mengarahkan nasehat-nasehat kepada
mereka dan menjanjikan mereka dengan pahala yang besar, Allah berfirman.
“Artinya : Sesungguhnya Allah bermaksud
hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan mensucikan kamu sesuci-sucinya”. ( Al-Ahzab : 33)
Pada pokoknya ahlul bait itu adalah saudara-saudara
dekat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang dimaksud disini khususnya adalah yang sholeh diantara mereka. Sedang
sudara-saudara dekat yang tidak sholeh seperti pamannya, Abu Lahab maka tidak memiliki hak. Allah berfirman.
“Artinya : Celakalah kedua tangan
Abu Lahab, dan sesungguhnya celaka dia”. (Al-Lahab : 1).
Maka sekedar hubungan darah yang dekat
dan bernisbat kepada Rasul tanpa keshalehan dalam ber-din (Islam), tidak ada manfaat dari Allah sedikitpun baginya, Rasul
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya :Hai kaum Quraisy, belilah
diri-diri kamu, sebab aku tidak dapat memberi kamu manfaat di hadapan Allah sedikitpun ; ya Abbas paman Rasulullah, aku tidak
dapat memberikan manfa’at apapun di hadapan Allah. Ya Shofiyyah bibi Rasulullah, aku tidak dapat memberi manfaat apapun
di hadapan Allah, ya Fatimah anak Muhammad, mintalah dari hartaku semaumu aku tidak dapat memberikan manfaat apapun di hadapan
Allah”. (Dikeluarkan oleh Bukhary 3/4771, 2/2753, Muslim 1 Juz 3 hal 80-81 Nawawy).
Dan saudara-saudara Rasulullah yang sholeh
tersebut mempunyai hak atas kita berupa penghormatan, cinta dan penghargaan, namun kita tidak boleh berlebih-lebihan terhadap
mereka dengan mendekatkan diri dengan suatu ibadah kepada mereka. Adapaun keyakinan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk
memberi manfaat atau madlarat selain dari Allah adalah bathil, sebab Allah telah berfirman.
“Artinya : Katakanlah (hai Muhammad)
: Bahwasanya aku tidak kuasa mendatangkan kemadlaratan dan manfaat bagi kalian”. (Al-Jin : 21).
“Artinya : Katakanlah (hai Muhammad)
: Aku tidak memiliki manfaat atau madlarat atas diriku kecuali apa-apa yang tidak dikehendaki oleh Allah , kalaulah aku mengetahui
yang ghaib sunguh aku aka perbanyak berbuat baik dan aku tidak akan ditimpa kemadlaratan”. (Al-A’raf : 188)
Apabila Rasulullah saja demikian, maka
bagaimana pula yang lainnya. Jadi, apa yang diyakini sebagian manusia terhadap kerabat Rasul adalah suatu keyakinan yang bathil.
Prinsip Kedelapan
Dan diantara prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah
adalah membenarkan adanya karomah para wali yaitu apa-apa yang Allah perlihatkan melalui tangan-tangan sebagian mereka, berupa
hal-hal yang luar biasa sebagai penghormatan kepada mereka sebagaimana hal tersebut telah ditunjukkan dalam Al-Qur’an
dan As-Sunnah.
Sedang golongan yang mengingkari adanya
karomah-karomah tersebut daintaranya Mu’tazilah dan Jahmiyah, yang pada hakikatnya mereka mengingkari sesuatu yang diketahuinya.
Akan tetapi kita harus mengetahui bahwa ada sebagian manusia pada zaman kita sekarang yang tersesat dalam masalah karomah,
bahkan berlebih-lebihan, sehingga memasukkan apa-apa yang sebenarnya bukan termasuk karomah baik berupa jampi-jampi, pekerjaan
para ahli sihir, syetan-syetan dan para pendusta. Perbedaan karomah dan kejadian luar biasa lainnya itu jelas, Karomah adalah
kejadian luar biasa yang diperlihatkan Allah kepada para hamba-Nya yang sholeh, sedang sihir adalah keluar biasaan yang biasa
diperlihatkan para tukang sihir dari orang-orang kafir dan atheis dengan maksud untuk menyesatkan manusia dan mengeruk harta-harta
mereka. Karomah bersumber pada keta’atan, sedang sihir bersumber pada kekafiran dan ma’shiyat.
Prinsip Kesembilan
Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah
wal Jama’ah adalah bahwa dalam berdalil selalu mengikuti apa-apa yang datang dari Kitab Allah dan atau Sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik secara lahir maupun bathin dan mengikuti apa-apa yang dijalankan oleh para sahabat
dari kaum Muhajirin maupun Anshar pada umumnya dan khususnya mengikuti Al-Khulafaur-rasyidin sebagaimana wasiat Rasulullah
dalam sabdanya.
“Artinya : Berepegang teguhlah kamu
kepada sunnahku dan sunnah khulafaur-rasyid-iin yang mendapat petunjuk”. (Telah terdahulu takhrijnya).
Dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak
mendahulukan perkataan siapapun terhadap firman Allah dan sabda Rasulullah. Oleh karena itu mereka dinamakan Ahlul Kitab Was
Sunnah. Setelah mengambil dasar Al-Qur’an dan As-Sunnah, mereka mengambil apa-apa yang telah disepakati ulama umat ini.
Inilah yang disebut dasar yang pertama ; yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah. Segala hal yang diperselisihkan manusia selalu
dikembalikan kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Allah telah berfirman.
“Artinya : Maka jika kalian berselisih
tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu benar-benar beriman pada Allah dan hari akhir, yang
demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih baik akibatnya”. (An-Nisaa : 59)
Ahlus Sunnah tidak meyakini adanya kema’shuman
seseorang selain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka tidak berta’ashub pada suatu pendapat sampai
pendapat tersebut bersesuaian dengan Al-Kitab dan As-Sunnah. Mereka meyakini bahwa mujtahid itu bisa salah dan benar dalam
ijtihadnya. Mereka tidak boleh berijtihad sembarangan kecuali siapa yang telah memenuhi persyaratan tertentu menurut ahlul
‘ilmi.
Perbedaan-perbedaan diantara mereka dalam
masalah ijtihad tidak boleh mengharuskan adanya permusuhan dan saling memutuskan hubungan diantara mereka, sebagaimana dilakukan
orang-orang yang ta’ashub dan ahlul bid’ah. Sungguh mereka tetap metolerir perbedaan yang layak (wajar), bahkan
mereka tetap saling mencintai dan berwali satu sama lain ; sebagian mereka tetap shalat di belakang sebagian yang lain betapapun
adanya perbedaan masalah far’i (cabang) diantara mereka. Sedang ahlul bid’ah saling memusuhi, mengkafirkan dan
menghukumi sesat kepada setiap orang yang menyimpang dari golongan mereka.
Penutup
Kemudian dengan adanya prinsip-prinsip
yang dikemukakan dimuka, mereka senantiasa ber-akhlak mulia sebagai pelengkap aqidah yang diyakininya.
Diantara sifat-sifat yang agung itu adalah
:
Pertama
Mereka beramar ma’ruf dan nahi mungkar
seperti yang telah diwajibkan syari’at dalam firman Allah berikut.
“Artinya : Jadilah kalian umat yang
terbaik yang dilahirkan untuk manusia, beramar ma’ruf dan nahi munkar dan kalian beriman kepada Allah”. (Ali-Imran
: 110).
“Artinya : Barangsiapa diantara kamu
menyaksikan suatu kemunkaran, maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, apabila tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya,
dan apabila tidak mampu maka dengan hatinya dan yang demikian itulah selemah-lemah iman”. (Dikeluarkan oleh Muslim 1/Juz
2 hal. 22-25 syarah Nawawy dari Abu Sa’id Al-Khudry).
Sekali lagi, amar ma’ruf nahi munkar
hanya terhadap apa-apa yang diwajibkan oleh syari’at. Sedangkan golongan Muta’zilah mengeluarkan amar ma’ruf
dan nahi munkar dari apa-apa yang diwajibkan oleh syara, sehingga mereka berpandangan bahwa amar ma’ruf nahi munkar
adalah keluar dari para pemimpin kaum muslimin apabila mereka melakukan ma’shiyat walaupun belum termasuk perbuatan
kufur. Sedang Ahlus Sunnah Wal Jama’ah memandang wajib menasehati mereka dalam hal kema’shiyatannya tanpa harus
memberontak kepada mereka. Hal ini dilakukan dalam rangka mempersatukan kalimat dan menghindari perpecahan dan perselisihan.
Telah berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah : Barangkali hampir tidak dikenal suatu kelompok keluar memberontak
terhadap pemilik kekuasaan kecuali lebih banyaknya kerusakan yang terjadi ketimbang terhapusnya kemunkaran (melalui cara pemberontakan
tersebut).
Kedua.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah menjaga
tetap tegaknya syi’ar Islam baik dengan menegakkan shalat Jum’at dan shalat berjama’ah sebagai pembeda terhadap
kalangan ahlul bid’ah dan orang-orang munafik yang tidak mendirikan shalat Jum’at maupun shalat Jama’ah.
Ketiga
Menegakkan nasehat bagi setiap muslim dan
bekerja sama serta tolong menolong dalam kebajikan dan taqwa sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Ad-Din itu nasehat, kami
bertanya : untuk siapa .? Beliau menjawab : Untuk Allah dan Rasul-Nya dan para imam kaum muslimin serta kaum muslimin pada
umumnya”.(Dikeluarkan oleh Muslim I/Juz 2 hal. 36-37 syarah Nawawy, Abu Daud 5/49944, dan An-Nasaai 7/4197, Imam Ahmad
4/102 dari Tamiim Ad-Dary).
“Artinya : Mu’min yang satu
bagi mu’min yang lain bagaikan satu bangunan yang satu sama lain saling mengokohkan”. (Dikeluarkan oleh Bukhary
4/6026 dan Muslim 6/Juz 16 hal. 139 syarah Nawawy).
Keempat.
Mereka tegar dalam menghadapi ujian-ujian
dengan sabar ketika mendapat cobaan-cobaan dan bersyukur ketika mendapatkan keni’matan dan menerimanya dengan ketentuan
Allah.
Kelima
Bahwasanya mereka selalu berahlak mulia
dan beramal baik, berbuat baik kepada kedua orang tua, menyambung tali persaudaraan, berlaku baik dengan tetangga, dan mereka
senantiasa melarang dari sikap bangga, sombong, dzolim (aniaya) sesuai dengan firman Allah.
“Artinya : Sembahlah Allah dan janganlah
kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib, kerabat, anak yatim, orang-orang
miskin, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”.
(An-Nisaa : 36)
“Artinya : Sesempurna-sempurna iman
seorang mu’min adalah yang baik ahlaknya”. (Dikeluarkan oleh Imam Ahmad 13 No. 7396, Tirmidzi 3/1162, Abu Daud
5/4682, dan Al-Haitsamy dalam Mawarid No. 1311, 1926).
Kita memohon kepada Allah Azza wa Jalla
agar berkenan menjadikan kita semua bagian dari mereka dan tidak menjadikan hati kita condong kepada kekafiran setelah diberi
petunjuk (hidayah-Nya) dan semoga shalawat serta salam terlimpah kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
keluarganya beserta shabat-sahabatnya. Aamin.
Sumber : Prinsip-Prinsip ‘Aqidah
Ahlus Sunah Wal Jama’ah oelh Syaikh Dr Sholeh bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, terbitan Dar Al-Gasem PO Box 6373 Riyadh,
penerjemah Abu Aasia